Kamis, 07 April 2011

PERTARUHAN JAKARTA

Jakarta awalnya dari sebuah bandar kecil di muara Sungai Ciliwung sekitar 500 tahun silam. Selama berabad-abad kemudian kota bandar ini berkembang menjadi pusat perdagangan internasional yang ramai. Pengetahuan awal mengenai Jakarta terkumpul sedikit melalui berbagai prasasti yang ditemukan di kawasan bandar tersebut. Keterangan mengenai kota Jakarta sampai dengan awal kedatangan para penjelajah Eropa dapat dikatakan sangat sedikit.

Dokumen-dokumen tertua menyebutkan suatu permukiman di mulut Ciliwung bukan dengan nama Jayakarta, melainkan Sunda Calapa. Dokumen tertua yang menyebut nama ini adalah Summa Oriental karangan Tome Pires, yang memuat laporan kunjungannya dari tahun 1512/15. Apakah Ma Huan, penulis laporan pelayaran armada Laksamana Zheng-Ho, yang kapal-kapalnya mengunjungi Pantai Ancol pada awal abad XV, mengenal Chia liu-pa (atau Calapa) belum dapat dipastikan kebenarannya. Direbut pasukan Cirebon Sebutan Sunda Calapa dipakai terus sampai pertengahan abad XVI. Dan nama Jayakarta untuk pertama kalinya disebutkan dalam suatu dokumen tertulis, yang berasal dari sekitar tahun 1553, yakni dalam karangan sejarawan Barros, yang berjudul Da Asia: Pulau Sunda adalah negeri yang di pedalaman lebih bergunung-gunung daripada Jawa dan mempunyai enam pelabuhan terkemuka, (Cimanuk) Chiamo di ujung pulau ini, Xacatara dengan nama lain (Karawang) Caravam, (Xacatara por outro nome Caravam), (Tangerang) Tangaram, (Cigede) Cheguide, (Pontang) Pontang dan (Banten) Bintam. Inilah tempat-tempat yang ramai lalu lintas akibat perniagaan di Jawa seperti pula di Malaka dan Sumatra .... (Barros, Da Asia decada IV, liv. 1, Cap XII, hlm. 77)
Nama Jayakarta diganti menjadi Batavia. Keadaan alam Batavia yang berawa-rawa mirip dengan negeri Belanda, tanah air mereka. Mereka pun membangun kanal-kanal untuk melindungi Batavia dari ancaman banjir. Kegiatan pemerintahan kota dipusatkan di sekitar lapangan yang terletak sekitar 500 meter dari bandar. Mereka membangun balai kota yang anggun, yang merupakan kedudukan pusat pemerintahan kota Batavia. Lama-kelamaan kota Batavia berkembang ke arah selatan. Pertumbuhan yang pesat mengakibatkan keadaan lilngkungan cepat rusak, sehingga memaksa penguasa Belanda memindahkan pusat kegiatan pemerintahan ke kawasan yang lebih tinggi letaknya. Wilayah ini dinamakan Weltevreden. Pada 8 Januari 1935 nama kota ini diubah lagi menjadi Stad Gemeente Batavia. Setelah pendudukan Jepang pada tahun 1942, nama Batavia diganti menjadi "Jakarta" oleh Jepang untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II. Jakarta menjadi ibukota karena keputusan Soekarno sebagai presiden melihat ibukota Yogyakarta dalam keadaan darurat maka harus ada perpindahn ibukota, dan yang dipilih adalah Jakarta.
Sekelumit sejarah Jakarta sekarang nyatanya sudah menjadi kota megapolilitan yang setara dengan kota-kota besar di dunia seperti Amsterdam, Sydney, Washinton DC dan kota lainnya. Bukan hanya pusat pemerintahan saja yang ada tetapi pusat industry, pusat ekonomipun tersentral disini, maka itu semua orang berbeondong-bondong hijrah ke Jakarta dan ini yang meyebabkan kalkulasi penduduk sangat padat.
Berbagai macam orang yang hijrah ada yang ingin mengadu nasib, sampai ada yang ingin menaklukan Jakarta baik dari segi ekonomi maupun politik, karena semua sector ekonomi dan politik berputar dan berporos di sini. Makanya Jakarta banyak dipertaruhkan sampai-sampai sebagian orang rela melakukan apapaun untuk mendapatkannya.
Dari segi ekonomi, pangsa pasar Jakarta strategis apabila dibuat usaha maka para investor banyak yang menanamkan investasi di Jakarta. Hasil dari investasi dibuatkan pabrik, perusahaan, dan juga peluang untuk dunia kerja di mana-mana. Dari segi politik, ini lebih menarik lagi bagi para politikus dan birokrat untuk terjun dan tampil, karena pusat pemerintahan serta kebijakan ada Jakarta menjadi menarik apalagi kantor MPR, DPR, dan DPD ada di situ lebih mudah untuk mengasksesnya.
Sebenarnya kalau dilihat segi ekonomi dan politik ada kaitannya sebab potensi yang besar untuk keduanya ada di Jakarta, jadi semua berbodong-bondong datang dan ingin menguasai Jakarta. Akibatnya lahan yang ada menjadi berkurang, jumlah penduduk overload sudah tidak bisa menampung, lahan yang zaman belanda tidak ditempati karena banyak rawa-rawa dan itu diperuntukan untuk tampungan air, sekarang sudah berubah menjadi gedung-gedung bertingkat, perumahan elit, dan lain-lain tanpa memperhatikan dampak dan akibat dari itu semua.
Masalah itu bisa terjadi karena kaum elit yang datang ingin menaklukan dan menguasai Jakarta hanya memikirkan kepentingan pribadi dan yang tepenting keuntungan, sedangkan akibatnnya belakangan. Seharusnya para birokrat, politikus, dan pengusaha memutuskan kebijakan harus mempertimbangkan tata kelola yang baik dan untuk kepentingan masyarakat.Untuk masalah jumlah penduduk yang sudah terlalu padat pemerintah dan pemerintah daerah harus membendung arus urbanisasi ke Jakarta dengan lebih cermat lagi dan dievaluasi dengan seksama.
Harapan sebagai warga Jakarta bagi penguasa (penguasa birokrasi/pengambil kebijakan dan penguasa ekonomi/ pengusaha) janganlah Jakarta hanya jadi bahan pertaruhan demi kepentingan pribadi tanpa memikirkan masyarakat, karena Jakarta ini milik kita semua yang tinggal, mencari rezeki, tempat kita melepaskan lelah, tempat kita berteduh di saat hujan, dan bukan milik sekelompok orang atau penguasa dan pengusaha.


Tulisan ini juga dimuat dan dilihat pada kompasiana.  http://www.kompasiana.com/amar_emd


Tidak ada komentar:

Posting Komentar