Kamis, 26 Januari 2012

Ikhtiar dan Takdir

Kajian tentang Islam dan modernisasi selalu saja menarik perhatian. Tema keislaman dan kemoderanan merupakan sebuah wacana pemikiran, yang mampu membangkitkan gairah intelektual untuk mendiskusikannya. Tema ini menarik perhatian terutama berkaitan dengan pertanyaan penting apakah Islam itu kompetibel dengan kemoderenan, melainkan juga menmiliki hubungan organik dengan modernitas. Karena itu, umat Islam memiliki kelenturan yang luar biasa dalam melakukan adaptasi dengan perkembangan kemoderanan. Islam merupakan agama paling siap menerima proses perkembangan zaman.

Seorang ahli sosiologi agama, Robert N. Bellah, misalnya secara mengejutkan memberikan penilaian bahwa Islam salaf (Islam Klasik) itu sangat modern untuk ukuran tempat dan waktunya pada masa itu. Islam klasik ternyata memiliki ciri-ciri yang sama secara fundamentaslis dengan apa yang ada dalam masyarakat modern di barat.

Melihat dari pandangan itu semua pada zaman sekarang sebagian dari kebanyakan umat Islam sudah tidak lagi melihat yang namanya sebuah nilai-nilai yang ada pada ajaran Islam terutama pada masalah kesungguhan dalam menjalankan pola kehidupan dalam individu maupun masyarakat, umat Islam kebanyakan sudah lemah dan tidak mempunyai kekuatan dalam mengahadapi tantangan hidup.

Sikap pasrah dan berserah kepada Allah (Takdir) yang salah persepsi, karena mereka menganggap bahwa kehidupan sudah dijamin nanti di akhirat kelak, jadi tidak perlu adanya ikhtiar  atau usaha dalam mencapai kesuksesan. Dan ini disebabkan karena pemahaman terhadap beberapa al-Qur’an dan hadis ditafsirkan secara tekstual dan kaku. Dengan adanya pemahaman-pemahan tersebut timbulah sebuah penyakit yang diistilahkan fatalisme. 

Menurut Syaikh Muhammad al-Ghazali Manusia merupakan makhluk yang terpaksa dan bebas sekaligus dalam waktu bersamaan. Ia dalam kondisi terpaksa karena terbatasnya kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya serta kondisi lingkungannya. Namun ia juga memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan atau sikap terhadap sesuatu. Dan ditegaskan disini, bahwa kita tidak akan ditanya atau diminta pertanggungjawaban mengenai sesauatu yang tidak berkuasa menghindarinya dan tidak bisa memilih. Tetapi kita pasti akan ditanya tentang sikap dan tindakan kita yang kita diberi “ kebebasan untuk memilih” (free choice) antara melakukan dan tidak.

Sedangkan menurut Nurcholish Madjid kehidupan manusia pada dasarnya mengenal dua aspek yaitu, temporel berupa kehidupan sekarang di dunia, dan juga yang abadi (eternal) berupa kehidupan kelak sesudah mati di akhirat. Dan manusia hidup di tengah alam, dan sebagai makhluk sosial hidup di tengah sesamanya. Dari segi ini manusia adalah bagian dari keseluruhan alam yang merupakan satu kesatuan den merdeka. Oleh karena itu kemerdekaan harus diciptakan untuk pribadi dalam konteks hidup di tengah alam dan masyarakat. Sekalipun kemerdekaan adalah esensi dari pada kemanusiaan tidaklah berarti manusia selalu dan di mana saja merdeka. Ada batas-batas bagi kemerdekaan adalah sesuatu kenyataan. Batas-batas tertentu dikarenakan adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap menguasai alam, hukum yang menguasai benda-benda maupun masyarakat manusia sendiri yang tidak tunduk dan patuh kepada kemauan manusia.

Manusia juga tidak dapat berbicara mengenai takdir sesuatu kejadian sebelum kejadian itu menjadi kenyataan. Maka percaya kepada takdir akan membawa keseimbangan jiwa, tidak terlalu berputus asa karena sesuatu kegagalan dan tidak pula terlalu membanggakan diri karena suatu kemujuran. Sebab segala seuatu tidak hanya tergantung pada diri sendiri, melainkan juga kepada takdir, sebagaimana firman Allah Swt:

(kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira,  terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (Q.S. al-Hadid : 23).

 Jadi ikhtiar dan takdir adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena keduanya saling berkaitan satu dengan yang lain mengenai proses yang terjadi pada alam manusia, dan sudah jelas dan tidak dapat dipungkiri dalam konteks ini tidak dapat dielakan bahwa untuk tidak bersikap fatalisme yang menyebabkan kemuduran dan kejumudan peradaban manusia, karena tidak pernah berpikir dan berusaha untuk kemajuan dirinya, lingkungan dan umat, dan berikap riya, sombong, atau angkuh terhadap perbuatannya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar